Malu.. Awkward..
Cemas.. Ragu.. Pengen belajar transfigurasi ke Prof. McGonagall biar bisa
langsung berubah jadi kutu dan ngilang dari sana..
Itu terjadi waktu
datang ke cultural night beberapa waktu lalu. Tanpa membayar 250 ribu, saya dan
teman-teman mendapat kesempatan untuk ikut seminar internasional tentang
keamanan pangan (Food Security), mendatangkan pembicara dari Amerika, Australia
dan Jepang. Inti dari seminar ini adalah untuk menyadarkan kita bahwa makanan
yang beredar saat ini tidak sehat, dengan harga yang tidak terjangkau kaum
menengah kebawah, masih menyusahkan petani, membahayakan lingkungan dan nyawa
anak-anak. Ruwet sekali sepertinya ya?
Saya sebenernya
bingung dengan seminar kemarin. Satu pembicara mengatakan kalau global warming
sudah bukan isu lagi, tapi benar-benar terjadi, sehingga kita harus lebih
berhati-hati dalam penggunaan energi. Sedangkan ahli ekonomi bilang kalo isu
global warming adalah salah satu alasan penyebab naiknya harga bahan makanan,
terutama jagung. Ini karena ada produksi jagung yang digunakan sebagai bahan
bakar alternatif ramah lingkungan sehingga jumlah untuk pemenuhan kebutuhan
makanan berkurang dan harganya naik. Ini salah, itu salah. Saya jadi kasihan
dengan ketiga profesor pembicara yang sibuk memikirkan dunia itu, sampai
rambutnya putih semua.. hehe.. Padahal orang-orang yang dipikirin tetep aja
makan seenaknya. Liat aja, habis ikut seminar pasti malemnya ke resto fast
food.
Pembicara dari
Indonesia mengungkapkan untuk mengganti nasi dengan umbi-umbian. Padahal produksi
umbi-umbian nggak sebanyak beras. Bayangkan, seandainya beras akan diganti
umbi, maka pergerakan ini harus dimulai dari petani. Petani yang dulunya
menanam padi, harus menanam umbi-umbian karena walopun kelihatan melimpah,
sebenernya produksi umbi-umbian kita kecil. Saya pernah dengar ada perusahaan
di Indonesia yang harus impor ketela pohon untuk memenuhi produksi mocal.
Petani yang mau rugi demi kemaslahatan bangsa mungkin bersedia mencoba menanam
umbi. Tapi karena selama ini mungkin petani merasa selalu rugi, kaya’nya bakal
susah.. Selain itu, mau nggak ya warga Indonesia nggak makan nasi? Kalo saya
sih sudah biasa – nggak sombong ye.. Tapi ini karena saya orang yang mudah
terpengaruh. Waktu pertama kali baca kalau nasi putih itu jahat dan sebenarnya
hanya cocok untuk orang-orang yang butuh energi cepat seperti atlet atau
pekerja berat, saya yang tiap hari hanya jalan dan duduk jadi berpikir 1000
kali untuk kembali menyantap nasi. Apalagi di keluarga saya ada garis keturunan
diabetes. Sayangnya, kebiasaan saya ini kurang bisa diterima siapapun. Mulai
dari teman, keluarga, bahkan ibu pemilik warung. Menurut mereka, model makan
seperti ini, “Gaya thok..”
Tapi semua itu
tentu saja merupakan suatu proses. Suatu saat nanti pasti akan ditemukan cara
untuk menggugah petani dan masyarakat untuk kembali membudidayakan umbi.
Ya, inilah bagian
anehnya. Kalo diingat-ingat, umbi adalah makanan para leluhur kita. Tepung
gandum dan beras putih mungkin datang dibawa penjajah dari Eropa dan Jepang.
Beberapa waktu lalu di angkot, saya duduk di depan seorang ibu-ibu yang
menjalani masa remaja di saat pemerintahan Bung Karno. Beliau bilang, dulu
orang makan beras nggak putih seperti sekarang. Ah, saya lupa, ibu itu
menyebutkan nama beras yang dulu dibagikan di masa itu. Berasnya kotak dan
berwarna gelap. Makanan leluhur kita ternyata memang jauh lebih sehat, semua
serba organik. Nggak heran juga kalo anaknya banyak dan umurnya panjang.
Ini berarti
orang-orang pintar sedang menghimbau kita untuk kembali ke masa lalu. Sadarkah
apa yang mengubah pola makan orang-orang masa lalu? Budaya baru, budaya
penjajah, modernisasi. Dulu orang-orang suka makan umbi, sayur, beras yang
nggak putih. Tapi tiba-tiba jadi nggak keren kalo nggak makan roti. Jadi orang
udik kalo ke sekolah nggak bawa bekal sandwich. Jadi nggak gaul kalo statusnya nggak
“check in” di resto-resto fast food.
Masyarakat kita adalah masyarakat yang selalu ingin dianggap gaul dan keren
sehingga melupakan budayanya sendiri yang mungkin lebih baik. Saya munafik. Ya,
memang. Karena nyatanya saya juga suka ke resto fast food untuk makan es
krimnya, dan nggak menolak makan kalo ditraktir..hehe..
Sama juga dengan
yang terjadi di malam itu. Cultural night, itulah yang tertulis di jadwal, dan
seorang panitia mendekati kami supaya kami bersedia datang ke acara tersebut.
Malam budaya. Itu arti cultural night dalam bahasa Indonesia kan? Maka, kami
berpikir kalau ini adalah acara pentas seni untuk menjamu para tamu
internasional. Dimana nantinya mungkin ada mahasiswa mahasiswi memamerkan
budaya Indonesia seperti tari-tarian, gamelan, atau teater. So, malam itu kami
berpakaian sekenanya, karena berpikir bisa duduk di baris belakang jauh di
belakang para petinggi kampus. Saya pakai kaos, jaket dan celana jeans.
Sedangkan teman saya pake rok kuliah dan sandal jepit. Saat akan memasuki
gedung acara, kami didului Xenia hitam, mobil berhenti di depan kami, seorang
wanita yang sepertinya baru dandan di salon turun dari mobil. Berdandan seperti
hendak ke resepsi nikahan anak mentri. Saya langsung berhenti di depan tangga
gedung, saling pandang dengan teman saya.
“Bener ini acaranya?”, tanya saya.
Teman saya tidak jauh beda, juga mulai cemas.
Dan benar saja, kami pun sampai di
depan ruangan yang di dalamnya penuh orang-orang berdandan necis, perlente,
bapak-bapak pake batik, ibu-ibu pake gaun.
“Ngisi buku tamu dulu, mbak..”, kata
penerima tamu yang dandanannya tidak kalah perlente.
Kami hanya nyengir, dan buru-buru
keluar. Kebetulan teman saya juga mengajak dua teman kosnya dengan dandanan tidak
jauh lebih baik. Setelah beberapa waktu ngakak dalam kecemasan, kami memutuskan
untuk pulang dan ganti pakaian. Sebenernya bisa saja kami pulang dan tidak
kembali. Tapi karena penasaran acara apa sebenarnya di dalam sana, maka kami
kembali. Kami agak pede masuk ruangan, walaupun saya masih pake sneaker. Duduk
menenangkan diri di salah satu meja yang disediakan, melempar pandangan ke
seluruh ruangan dan mulai bertanya, “Mana penarinya?”
Para tamu dari
luar negeri itu duduk di tengah ruangan ditemani petinggi kampus, mengenakan
atasan batik. Beberapa penyanyi dan band di depan ruangan menyanyikan lagu-lagu
barat oldies – ya, kebetulan para pembicara itu sudah usia 50+.
Ooo.. jadi ini yang namanya cultural
night? Tapi culture siapa? Seperti saya bilang tadi, bahwa masyarakat kita
selalu ingin dianggap keren, modern. Menjamu tamu dengan gaya Eropa – biar
dibilang bergaya internasional. Baru tadi pagi ngomongin kembali ke pangan
lokal, malemnya acara budaya gak jelas. Jadi bingung..