Jumat, 25 September 2020

SPREE (2020)

Is social media really that fake? Apakah media sosial sepalsu itu? You can call me naive, but when I have social media account (once upon a time), I put all the truly me. I mean not all.. I only put good photos, without any filter, because there wasn't any filter app back then. I mean.. I never put my sad photos, or when I'm angry, or when I feel disappointed. So.. OK.. Yah.. I was faking it, to make it looked like I'm a happy traveler, a happy single woman who spent her weekend by enjoying nature. 
This movie kinda show you that. The fake life of social media. How fake people are and how toxic a social media could be..
Ada yang bilang, kalau kalian ingin tahu tentang seseorang, maka kalian cek sosial medianya. Dan saya juga pernah dengar bahwa ada HRD yang memang sengaja cek sosial media pelamar kerja, sebagai referensi. Itu cuma saya dengar-dengar saja. Kebenarannya, entahlah.. Kenapa orang ini suka sekali pasang foto saat dia ibadah? Kenapa dia tidak pernah pasang foto mukanya? Kenapa yang itu suka posting makanan? Kenapa dalam sehari dia bisa buat story sebanyak itu? People really do think about their social media a lot. Terutama untuk mendapat millions followers yang beneran mendatangkan duit. Was it the attention, the message or the money? What's your concern? Do you want to get the attention? or do you want to spread the good message? Or maybe it's all about the money?
Anyway, back to Spree (2020).. 


pic from: https://www.imdb.com/title/tt11394332/

Honestly, saya sedang tergila-gila nonton Stranger Things. Serial yang booming sekitar empat tahun lalu. Hehe.. Aktor aktrisnya juga sudah pada gede-gede sekarang. I found this interesting character, Steve Harrington a.k.a. King Steve.. School jock, the popular boy who date the smart girl. Cowok yang awalnya menyebalkan, bahkan saya pikir dia akan berbuat seperti Justin Foley dalam 13 Reasons Why. Tapi ternyata dia cowok baik-baik, bahkan dia berteman dengan anak-anak aneh itu. And I guess we all love Steve Harrington. He's such a good mom.. Anyway, karakter Steve diperankan oleh Joe Keery, dan ternyata setelah saya GOOGLE, dia juga maen di film berjudul "SPREE" yang trailernya sudah direkom di beranda Youtube saya sejak bulan lalu. Dan karena beberapa reviewer bilang film ini lumayan. Walopun di IMDB cuma dapat rating 5.9/10, I give it a try. 
Kurt Kunkle, dengan akun sosial media @kurtsworld96 adalah driver aplikasi layanan antar atau layanan tebengan bernama Spree. Kurt terobsesi untuk menjadi influencer viral. Film ini dibuat seperti Searching (2018) atau Host (2020), dimana sepanjang film menggunakan sudut pandang kamera-kamera para pemain dan CCTV.  Hebatnya, dari kamera seperti itu, penonton bisa melihat orang seperti apa Kurt. Keluarganya berantakan, dan walaupun cute, dilihat dari postingan sosial medianya, dia tidak punya teman. satu-satunya teman Kurt adalah Bobby. Kurt dulu adalah babysitter Bobby, dan Bobby sekarang adalah influencer yang cukup viral. Bisa dilihat bahwa Bobby tidak terlalu suka pada Kurt. So yah.. Kurt is a miserable teenager. Dengan keluarga yang tidak jelas, dan teman yang tidak menginginkannya. Dia butuh perhatian. Dan setelah sekian lama mencoba menjadi viral, dia tidak berhasil. Maka pada hari itu, dia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. #thelesson
Kurt tetap berkeliling sebagai Spree driver, dia menyediakan air mineral yang sudah diberi racun untuk membunuh penumpang-penumpangnya. But, some people think that it was lame.. Metode air itu tidak menambah sedikitpun viewersnya. Kurt mulai berimprovisasi sampai akhirnya menjadi viral. Anyway, that's not the point. 
Di balik pembunuhan-pembunuhan itu.. Betapa pun psycho-nya si Kurt, kita bisa melihat bahwa dia punya alasan untuk membunuh. Bagaimana dengan mereka yang menonton dan menyemangati Kurt? Bukankah berarti mereka lebih psycho? 
Dan orang-orang yang nampak menyenangkan di medsos, orang-orang yang punya banyak followers, mereka semua jutek saat benar-benar ditemui. Not friendly at all. Bahkan terkesan memandang rendah orang lain. For the first time in my life, I want the psycho killer wins..
Se-toxic itukah medsos? Social media makes you think too much about the comments. Comments from people you don't even know. Sosial media membuat kita memikirkan komen orang lain. Orang-orang yang bahkan tidak pernah kita temui atau lihat mukanya. Foto yang mereka jadikan profil pun belum tentu foto mereka sendiri. Kita berubah jadi orang yang mengikuti apa kata orang lain. Dan ini yang membuat orang-orang berlomba-lomba membuat konten, mulai yang religius sampe yang sensasional, asal dapat viewers.  

Sabtu, 12 September 2020

I'M THINKING OF ENDING THINGS (2020)

 Ya, that's also comes in my mind like.. almost everyday..

Anyway, kembali lagi ke film.. haha.. I'm Thinking of Ending Things. Sebuah horor thriller metafora yang sebenarnya tidak pernah saya dengar gadang-gadangnya. Atau saya yang kurang gaul sekarang? Itu yang lebih mungkin. Hehe.. Baru dengar tentang film ini setelah direview bagus oleh Cine Crib dan ternyata ratingnya bagus di IMDB, sekitar 6,9-7/10, berubah beberapa kali saat dibuka.

Berdasarkan novel karya Iain Reid, Charlie Kaufman menyutradarai film ini. Tony Collette dan David Thewilis adalah dua aktor yang familiar di mata saya. Sedangkan Jesie Buckley dan Jesse Plemons, saya belum pernah nonton film-film mereka. Ini adalah film semacam Bleak Night (South Korea, 2011). Kita tidak akan mengantuk sepanjang film walaupun kurang paham maksudnya dan bertanya-tanya sampai akhir apa yang sebenarnya terjadi. Dan setelah menyadari apa maksud film itu, it will leave you dumbfounded. Itu yang saya rasakan, membuat saya terdiam seharian. Film ini menyodok hati saya sangat dalam, dan saya tidak yakin bisa mengungkapkan bagaimana dalamnya di tulisan ini. Saran saya, tonton saja. Bahkan tanpa membaca review dari saya. 

 pic from: https://financerewind.com/entertainment/netflixs-im-thinking-of-ending-things-what-characters-are-being-played-by-which-actors-when-will-it-air/

Seorang wanita diajak pacarnya - Jake, pergi mengunjungi orang tua si cowok di pedesaan. Film diawali dengan monolog dari wanita ini - Lucy. Lucy baru sekitar sebulan berkencan dengan Jake, dan ini adalah pertemuan pertama dengan orang tuanya. Antara nervous dan excited, dia mengenakan setelan berwarna cerah, menyambut Jake yang datang dari ujung jalan. Ada lelaki tua yang mengawasi mereka dari balik jendela, menggumamkan kalimat-kalimat tidak jelas. Mereka pun berangkat, road trip.

Seringkali Lucy hilang dalam pikirannya, tentang segala hal. Tentang bagaimana kehidupannya bersama Jake. Bagaimana Jake adalah laki-laki baik, pintar dan bertanggung jawab, tetapi dia ingin mengakhiri semuanya. Entah kenapa. Selama sekitar 20 menit pertama, kita disuguhi percakapan antara Jake dan Lucy di dalam mobil. Bahkan tidak ada pemandangan di luar mobil selain salju turun. Mereka mengomentari buku, film, musik, aktor. Lucy bahkan me-recite karyanya yang belum dipublikasikan, "Bonedog" dengan sangat indah. Beberapa kali telepon Lucy berdering, dan tampak nama "Lucy" di layar hp-nya. Kalau belum pernah membaca novelnya, maka di titik ini kita akan mulai bertanya-tanya, siapakah Lucy ini? Kenapa dia menggantikan "Lucy"? Dan apabila wanita dalam mobil itu bukan Lucy, kenapa Jake tidak menyadarinya?

Sampailah mereka berdua di rumah orang tua Jake. Walaupun ibu Jake sudah menyapa dengan ramah dari jendela lantai dua, Jake tidak ingin segera masuk ke dalam rumah. Malah mengajak Lucy ke peternakan milik keluarganya. Bahkan setelah masuk ke rumah, orang tua Jake tidak segera menemui mereka. Lamaaa sekali. Lucy melihat sekeliling rumah dan menemukan foto masa kecilnya dipajang di dinding rumah Jake bersama foto keluarga. Bagaimana bisa?

Ayah dan Ibu Jake akhirnya menemui mereka. Jake nampak tidak nyaman Lucy bertemu dengan kedua orang tuanya. Walaupun ayah dan ibu Jake nampak aneh, tetapi percakapan mereka dengan Lucy tidak awkward sama sekali. Ayah dan ibunya sangat bangga terhadap Jake yang diceritakan adalah seorang fisikawan sukses. Mereka juga senang Jake bersama Lucy, karena Lucy adalah seorang seniman cerdas. Setelah itu banyak hal aneh terjadi. Waktu seolah bukan sesuatu yang pasti. Orang tua Jake kadang nampak muda, kadang tua. Lucy juga masih berkali-kali ditelepon oleh "Lucy". Profesinya juga berubah-ubah. Dan Lucy menemukan buku karyanya, "Bonedog" di kamar Jake. Bagaimana bisa?

Ada satu tempat di rumah itu yang sangat dibenci Jake. Ruang bawah tanah. Saat ibu Jake yang nampak muda meminta Lucy untuk mencuci sehelai pakaian, mau tidak mau Lucy turun ke ruang bawah tanah itu. Jake marah, memintanya segera naik. Di tempat cuci itu Lucy menemukan banyak sekali seragam kerja. Entah milik siapa. 

Dan setelah berkali-kali memaksa Jake untuk pulang, akhirnya mereka pulang. Dan sekali lagi, kita akan disuguhi percakapan-percakapan panjang dalam mobil di tengah salju. Scene-scene semakin aneh. Dimana mereka mampir di kedai es krim pinggir jalan yang pegawainya juga aneh-aneh. Lalu mereka mampir ke sekolah Jake dulu, lalu Jake menghilang di sana. Sederetan adegan Jake dan Lucy ini diselingi-selingi scene lelaki tua yang mengintip mereka di awal film. Lelaki tua penjaga sekolah yang pada akhir film dia mengakhiri hidupnya sendiri.

Sampai akhir tidak diceritakan siapa Lucy, "Lucy" atau "Louisa". Kenapa orang tua, rumah, kedai es krim dan sekolah Jake nampak begitu magic. Saat lelaki tua penjaga sekolah itu meninggal, berakhirlah film.

Ini adalah sebuah penggambaran dari.. mm.. kalau kalian pernah dengar sebuah quote, "banyak orang meninggal di usia sangat tua, tetapi beberapa dari mereka sebenarnya sudah meninggal jauh sebelum itu". Tentang matinya mimpi dan ambisi di usia muda yang akan menyiksa seumur hidup.

So, I feel the need to edit this post.. hehe.. karena saya baru baca novelnya. Buat kalian yang belum nonton dan tertarik dengan dunia psikologi, mental illness, dan semacamnya, mungkin baca novelnya bisa mempermudah pemahaman terhadap film ini. Karena walaupun diambil dari novel berjudul sama, tetapi Charlie Kaufman sang sutradara sendiri yang menulis naskah filmnya, sehingga walaupun konteks filmnya sama, tetapi agak berbeda secara detail. Mungkin karena dalam film semua harus divisualisasikan, sedangkan dalam novel, segala sesuatu tergantung pada imajinasi dan pemikiran pembaca. SPOILER ALERT!! Inti cerita sebenarnya ada pada Jake yang tiba-tiba mengalami mental breakdown yang tidak disembuhkan, tidak dijelaskan kenapa dan bagaimana. Depresi berkepanjangan ini yang membuatnya menunda, membatalkan, membiarkan, meninggalkan segala sesuatu dalam hidupnya, hidup sendiri dan menciptakan karakter-karakter lain dalam kepalanya. Yah, setelah baca novelnya akhirnya saya paham dan semakin dumbfounded. Profesi Lucy atau Louisa berubah-ubah karena di kehidupan nyata, Jake tidak sempat mengenalnya lebih jauh. Mereka pernah bertemu di sebuah acara dan Jake menyukainya tetapi tidak berusaha untuk berbicara pada wanita itu.

Haha.. I mean, I feel like, this Jake person could be me! Saya yang kadang kurang nyaman berkomunikasi atau bertemu orang. Dari novel ini saya jadi tahu, kebiasaan seperti itu ternyata berakibat buruk kalau dibiarkan berlarut-larut.   

Kamis, 10 September 2020

TENTANG COMING OUT

Baru-baru ini saya lihat di berita, Oscar Lawalata menyatakan diri sebagai transgender. Berbeda dengan banyak orang lain di dunia ini, Oscar baru menyatakan diri di usianya yang sudah matang. Yang berarti proses menuju ke sana pastilah sangat sulit. Walaupun yah bisa kita lihat Reggy Lawalata dan Mario Lawalata selama ini sangat suportif pada Oscar. Tapi.. mungkin memang buanyak pertimbangan yang harus dihitung-hitung lagi.  Dan di usia segitu, saya yakin Oscar sudah benar-benar matang memikirkan segala macam konsekuensi untuk keputusannya. Ini bukan masalah ganti mata kuliah yang beberapa minggu lagi bisa dibatalin, gaes.. 

Anyway, sepertinya sudah sering saya utarakan pendapat saya tentang LGBT. I know, my religion against it. And so does other religion. Karena agama saya juga berasal mula dari agama yang lain, maka seharusnya isinya sama. Dan saya tahu bahwa seharusnya, apabila saya religius dan mau masuk surga, maka saya harus bertindak seperti yang tertulis dalam agama saya. Bukannya mau murtad atau membangkang, tapi menurut perasaan saya, saya mendukung orang yang ingin bahagia. Apapun yang membuat orang bahagia. Kita mau jadi atheis, mau ikutan cult, mau bungee jumping dari burj khalifa, mau buat video mesum, mau mendonasikan seluruh harta untuk anak yatim. Terserah. Selama itu benar-benar membuatmu bahagia. Bukan sekedar untuk dapat likes. Tapi kalau dengan mendapat likes kalian jadi bahagia, maka lanjutkanlah. Intinya, setiap manusia diciptakan berbeda. Kita tidak bisa tahu apa yang dirasakan orang. Itu pribadi masing-masing, tanggung jawab masing-masing. 

Apakah kita tidak wajib mengingatkan? Ada yang bilang bahwa, the worst thing you can do about a situation is nothing. Itu sebuah quote. The thing is..  I love to see people happy.

I'm not against it, tetapi tidak lantas saya suruh orang lain jadi LGBT juga. Do anything you want, anything that pleased you. As long as you are happy. Mungkin karena saya pernah berada di situasi serupa. Orang tua saya membesarkan saya sebagai wanita. Tapi tubuh saya nampak seperti laki-laki. Saat saya tidak memakai seragam sekolah, bahkan saat rambut saya sepunggung, orang masih mengira saya laki-laki. Karena saya suka memakai baju ayah atau kakak. Ditambah lagi saya tidak segera menikah, bahkan tidak punya cowok. Seperti tertulis di jidat saya bahwa saya lesbian. Just FYI, itu bukan perasaan saya saja. Karena memang ada yang berpendapat demikian. True story. You see.. saya tidak mengalami pertarungan batin seperti para transgender dimana mereka merasa berada dalam tubuh yang salah. But I know how it felt like, saat orang asing menganggapmu sebagai gender yang berbeda. Was I not pretty enough? Was I different than any other girl? Apakah saya tidak pantas dicintai? Maka bayangkan perasaan itu, ditambah dengan perasaan berada dalam tubuh yang salah. Berbeda dengan cewek maskulin, cowok yang feminin biasanya mendapat bully-an lebih keras. In their whole life. 

43 tahun. Bayangkan, 43 tahun Oscar menghadapi itu semua. Tapi dia sukses menjadi designer top kebanggaan Indonesia. Bukan pengejar likes atau pengejar popularitas dunia maya. Dia sukses menjadi dirinya sendiri. 

Saat pertama kali masuk kampus ini, kami tiba-tiba diundang ke sebuah kelas edukasi LGBT, karena ini adalah negara yang melegalkan LGBT. Pengajar adalah seorang pengacara kaum LGBT. Dia menyatakan bahwa kita tidak boleh mengkotak-kotakkan orang hanya laki-laki dan perempuan. Bahwa selama ini gender itu ditentukan sejak lahir oleh orang tua kita, sementara kita tidak diberi kesempatan untuk memilih sendiri mau bergender apa. Kenapa laki-laki tidak boleh masuk toilet wanita atau sebaliknya? Maka selama di negara ini kita tidak boleh menertawakan apabila ada laki-laki atau perempuan yang kesasar masuk toilet. It's an all gender toilet.

Ini yang belum bisa saya terima. Why? Bukannya saya tegakan mereka dibully saat masuk toilet yang "salah". Bukan juga karena mungkin saya akan risih berada di toilet cowok karena kadang ada mereka  yang jorok. Emangnya cowok juga gak bakal risih masuk toilet cewek? Emang cowok-cowok siap kalo tiba-tiba masuk toilet all gender terus liat ada pembalut kotor? 

Dan pawai LGBT. LGBT parade. Why? Why? Kenapa mereka pakai kostum seperti itu? Bukankah dengan kostum seperti itu mereka semakin ingin dianggap sebagai badut? You guys want people to think that you are clowns? We.. human, we use normal dress. If you are dying to show that much of your skin or body parts, then you probably not any of the LGBT. You might be an exhibisionist.

MARATHON SABTU

Ya ampuunn.. udah menjelang 39 tahun bukannya buat sesuatu yang berguna, malah marathon drakor.. haha.. Emang lebih oke nonton review di You...