Senin, 03 Februari 2014

FORMALITAS PERSAHABATAN

Kalau dalam sinetron-sinetron, sahabat ditemukan dalam sebuah adegan dramatis. Ketemu dalam perjalanan, ketemu dalam penderitaan bersama, terjebak di lift, pendakian gunung, atau bahkan menyukai cowok/cewek yang sama. Bukannya jadi rival, malah jadi sahabat.
Tapi tidak untuk kami. Sekitar tahun 2000an, walaupun saat itu komputer belum terlalu "in" di pergaulan kami, but believe it or not, it was a computer that brought us together. Saya tidak akan menceritakan tentang ini lagi, karena sepertinya sudah sering saya cerita soal geng.
Sekarang saya ingin membicarakan tentang pertemanan, persahabatan. Dalam film Gentleman Dignity, 4 orang laki-laki bersahabat sejak SMA sampai sama-sama sukses. Indah sekali karena bisa saling mengerti bahkan saat tidak mengatakan masalah apa yang dihadapi. Tapi.. tentu saja itu film. Sutradara yang mengarahkan mereka untuk mengerti satu sama lain. 
Apa itu persahabatan? Saat masih sekolah dulu (bahkan sampai sekarang), dalam hati saya bertekad untuk tidak pacaran, bahkan tidak akan menikah, hanya karena saya tidak ingin mengurangi waktu berpetualang bersama sahabat-sahabat. Apa yang terjadi? Sahabat-sahabat saya pacaran, membelikan kado-kado yang lebih bagus dan mahal untuk cowok yang mereka sukai, mereka menikah, bahkan punya anak. Meninggalkan saya. 
Apakah saya sakit hati karena sudah mengorbankan pengalaman pacaran untuk menghabiskan waktu bersama orang yang akhirnya meninggalkan saya untuk seorang laki-laki? Saat pertama kali mereka memperkenalkan pacar, tentu saja saya cemburu. Bukan cemburu karena mereka lebih laku daripada saya. Tapi karena saya tahu kalau itu berarti suatu saat mereka akan meninggalkan saya untuk bersama laki-laki itu.

Dalam sebuah pertanyaan, 
"Apabila ada orang tua terjatuh di depan kita, apa yang akan anda lakukan? Menolongnya atau langsung pergi pura-pura tidak tahu?"
Apa jawabannya? Pergi dan pura-pura tidak tahu? Walaupun terpaksa, karena mungkin orang tua itu sangat gemuk, kita pasti menolongnya, atau memanggil orang lain untuk membantu.

Itu disebut formalitas, saat kita sebenarnya tidak terlalu ingin melakukannya, tetapi itu adalah hal yang harus dilakukan. Bukannya tidak tulus, tetapi memang HARUS. Begitu juga dengan perasaan saya pada teman-teman. Mereka menikah dan meninggalkan saya. Itu bukan kejahatan, mereka tidak berniat menyakiti saya. Hanya ego yang membuat saya sakit hati. Saya tidak terlalu ingin mendoakan kebahagiaan mereka, tidak terlalu ingin datang ke pernikahan mereka, tidak terlalu ingin mengunjungi mereka saat mereka melahirkan. Tapi itu HARUS. Apakah sesuatu yang HARUS itu salah untuk dilakukan?
Saya HARUS shalat walaupun kaki terasa ngilu karena baru jatuh, walaupun capek karena baru perjalanan jauh. Apakah melaksanakan sesuatu yang HARUS itu salah? Tulus atau tidak? Apakah orang yang kita tolong harus tahu? Tulus atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. 
Saya datang membawa kado saat mereka ulang tahun. Tuluskah saya mendoakan mereka panjang umur dan sukses selalu? Tuluskah saya memberikan kado saat mereka sedang tidak menyakiti saya? Atau sebaliknya, tuluskah mereka mendoakan saya seandainya saya tidak mentraktir makan-makan? Apakah ketulusan harus diperlihatkan? Seandainya itu diperlihatkan, dapatkah orang lain merasakannya?
Itulah formalitas. Saya bahagia saat mereka datang di ulang tahun saya, saat saya sedang sakit, saat saya lulus atau saat saya akan pergi jauh. Kebahagiaan saya tulus dan saya tidak peduli apakah mereka tulus atau tidak. Karena saya tidak tahu. Saya bukan Tuhan. Mereka datang DI SAAT saya ulang tahun. Itu adalah formalitas, keharusan, karena mereka sahabat saya sejak kecil. Apakah ada yang salah dengan formalitas? Haruskah saya menanyakan ketulusan mereka. Bukankah itu akan sangat menyakiti mereka?
Saya lahir dari rahim ibu, tapi bahkan sampai sekarangpun kami kadang tidak bisa membaca perasaan satu sama lain. Maka bagaimana saya akan mengerti perasaan mereka yang bahkan tidak pernah berbagi nadi dan otak?
Kalo nulis gini serasa berteman dengan mereka berisi keterpaksaan karena keharusan melakukan ini itu. Tapi sebenarnya kalau dirasakan dengan hati yang paling dalam, mereka yang selalu ada untuk berbagi kebahagiaan, kesedihan, penderitaan dan kesakitan - tentu saja setelah keluarga saya. Tulus atau tidak, mereka sudah bersedia meluangkan waktu untuk saya yang seringkali tidak perhatian. Pernah saya tulis dalam cerpen, bahwa waktu adalah sesuatu yang sangat berharga dan tidak bisa diulang. Dan mereka menyisihkan waktu itu untuk saya. Saya sangat bersyukur memiliki sahabat-sahabat sebaik dan sehebat orang-orang itu. Ketulusan melakukan sesuatu bukanlah ukuran, adalah sebuah keHARUSan saya bisa membuat mereka bahagia, walau tidak lama. 

2 komentar:

39

Kalau kata film Tusuk Jelangkung, hari lahir dan weton orang itu akan terulang tiap 39 tahun. Jadi misalnya lahir tanggal 9 Maret 1993, Sela...