Rabu, 06 November 2019

JOKER (2019)

Mungkin ini bakal jadi review Joker (2019) ter-receh sejagad. 
Karena kalau ingat film ini rasanya saya jadi melow.. Mungkin gak ada yang tanya kenapa, tapi karena ini blog saya, jadi saya jelaskan saja..
Pertama, walaupun ini film yang sudah saya tunggu, because I love Joker, tapi trailernya bikin pengen naik lantai paling atas Burj Khalifa, terus lompat. Sumpah, nonton trailernya saja sudah bikin depresi. Itu orang udah dibuang orang tuanya, punya sakit jiwa, punya sakit saraf, mesti hidupin ibunya yang sakit-sakitan, terus jadi bahan bully fisik dan verbal baik oleh orang yang dikenal maupun yang tidak dikenal. 
Kedua, karena saya nonton film ini, dimana besoknya saya mesti antar suami pergi sekolah selama kurang lebih 2 tahun, dan saya juga harus pergi nantinya selama kurang lebih 4 tahun. So, di tengah kesedihan itu, saya takut banget bakal kena mental breakdown setelah nonton. Tapi mau bagaimana lagi, suami ngajak nonton dan tidak ada film lain yang lebih baik. 
Saya yakin semua sudah tahu bagaimana jalan cerita film ini.. Ratingnya di IMDB 8,8/10, melewati Endgame (8,5/10). Dan jauh sebelum ini, para reviewer sudah dulu-duluan mereview film ini. So, saya tidak akan mereview lagi. Saya hanya ingin menceritakan bagaimana rasanya nonton film yang mungkin akan legendaris ini.
Sebelum-sebelumnya, Joker digambarkan sebagai penjahat gila yang tidak punya hati. Bunuh sana sini tanpa ada rasa bersalah. Bahkan karakter ini juga merenggut nyawa Heath Ledger - pemerannya dalam The Dark Knight (2008). Seberapa tidak ber-hatinya karakter ini. Saya bukan pecinta DC atau Marvel comic, jadi saya tidak pernah tahu cerita apa di balik kejahatannya ini.  Dan sepertinya ini adalah most beloved super villain selain Loki. Nama aslinya Arthur Fleck, tinggal berdua dengan ibunya di sebuah flat kecil. Ibunya juga punya sakit jiwa atau sakit ingatan karena suka sekali menulis surat pada Thomas Wayne untuk meminta tunjangan ekonomi.
Arthur punya penyakit saraf yang di Youtube pernah disebut sebagai pathological laughter, yang membuatnya tidak bisa mengontrol kapan harus tertawa. Saat tertekan bisa jadi dia tiba-tiba tertawa, sehingga dia harus membawa tanda pengenal yang bisa ditunjukkan pada orang lain agar orang lain tidak salah paham. Sepertinya.. saya bukan psikiater, tapi sepertinya secara psikologis Arthur juga agak tidak normal, entah karena sering dibully atau karena pengaruh orang tua. Dia tidak marah saat orang berbuat buruk padanya. Arthur diam dan menciptakan dunia lain, seorang wanita bernama - Sophie, dimana dia bisa melarikan diri dari dunia yang jahat.
Arthur tidak jahat. Sophie ada di dunia nyata, Arthur tidak pernah menyakitinya, tapi Sophie takut padanya. Arthur dengan berani melanjutkan mimpinya menjadi komika di sebuah klub kecil, tapi seorang host talk show malah membullynya di TV nasional, difitnah teman kerja, dibully orang di jalan. Yang paling parah adalah saat ada anak kecil yang duduk bersama ibunya di bus. Anak itu menoleh ke belakang dan Arthur mencoba ramah pada anak itu dengan mengajaknya bercanda. Ibunya mengetahui hal itu dan malah membentak Arthur, "Will you please stop bothering my kid?!"..
People are awful.. WOW.. Sepanjang film seperti pengen teriak, "Stop hurting him! What's wrong with you Gotham people?!"
Joker juga digambarkan sebagai karakter pembuat onar. Sepanjang film ini saya merasa bahwa orang macam Arthur tidak bisa berbuat onar. Dia itu lugu bangeeettt.. Nggak punya teman. Temannya semua palsu. Siapa yang mau dia ajak mengacaukan kota? Dan you know what? Todd Phillips dan Scott Silver - sang penulis naskah, seperti bisa membaca pikiran penonton, mereka menuangkannya dalam line Arthur dalam scene acara talk show bersama Murray, "Come on Murray, do I look like the kind of clown that could start a movement?"




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

39

Kalau kata film Tusuk Jelangkung, hari lahir dan weton orang itu akan terulang tiap 39 tahun. Jadi misalnya lahir tanggal 9 Maret 1993, Sela...