Sabtu, 08 Desember 2012

CULTURAL NIGHT


Malu.. Awkward.. Cemas.. Ragu.. Pengen belajar transfigurasi ke Prof. McGonagall biar bisa langsung berubah jadi kutu dan ngilang dari sana..
Itu terjadi waktu datang ke cultural night beberapa waktu lalu. Tanpa membayar 250 ribu, saya dan teman-teman mendapat kesempatan untuk ikut seminar internasional tentang keamanan pangan (Food Security), mendatangkan pembicara dari Amerika, Australia dan Jepang. Inti dari seminar ini adalah untuk menyadarkan kita bahwa makanan yang beredar saat ini tidak sehat, dengan harga yang tidak terjangkau kaum menengah kebawah, masih menyusahkan petani, membahayakan lingkungan dan nyawa anak-anak. Ruwet sekali sepertinya ya?
Saya sebenernya bingung dengan seminar kemarin. Satu pembicara mengatakan kalau global warming sudah bukan isu lagi, tapi benar-benar terjadi, sehingga kita harus lebih berhati-hati dalam penggunaan energi. Sedangkan ahli ekonomi bilang kalo isu global warming adalah salah satu alasan penyebab naiknya harga bahan makanan, terutama jagung. Ini karena ada produksi jagung yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif ramah lingkungan sehingga jumlah untuk pemenuhan kebutuhan makanan berkurang dan harganya naik. Ini salah, itu salah. Saya jadi kasihan dengan ketiga profesor pembicara yang sibuk memikirkan dunia itu, sampai rambutnya putih semua.. hehe.. Padahal orang-orang yang dipikirin tetep aja makan seenaknya. Liat aja, habis ikut seminar pasti malemnya ke resto fast food.
Pembicara dari Indonesia mengungkapkan untuk mengganti nasi dengan umbi-umbian. Padahal produksi umbi-umbian nggak sebanyak beras. Bayangkan, seandainya beras akan diganti umbi, maka pergerakan ini harus dimulai dari petani. Petani yang dulunya menanam padi, harus menanam umbi-umbian karena walopun kelihatan melimpah, sebenernya produksi umbi-umbian kita kecil. Saya pernah dengar ada perusahaan di Indonesia yang harus impor ketela pohon untuk memenuhi produksi mocal. Petani yang mau rugi demi kemaslahatan bangsa mungkin bersedia mencoba menanam umbi. Tapi karena selama ini mungkin petani merasa selalu rugi, kaya’nya bakal susah.. Selain itu, mau nggak ya warga Indonesia nggak makan nasi? Kalo saya sih sudah biasa – nggak sombong ye.. Tapi ini karena saya orang yang mudah terpengaruh. Waktu pertama kali baca kalau nasi putih itu jahat dan sebenarnya hanya cocok untuk orang-orang yang butuh energi cepat seperti atlet atau pekerja berat, saya yang tiap hari hanya jalan dan duduk jadi berpikir 1000 kali untuk kembali menyantap nasi. Apalagi di keluarga saya ada garis keturunan diabetes. Sayangnya, kebiasaan saya ini kurang bisa diterima siapapun. Mulai dari teman, keluarga, bahkan ibu pemilik warung. Menurut mereka, model makan seperti ini, “Gaya thok..”
Tapi semua itu tentu saja merupakan suatu proses. Suatu saat nanti pasti akan ditemukan cara untuk menggugah petani dan masyarakat untuk kembali membudidayakan umbi.
Ya, inilah bagian anehnya. Kalo diingat-ingat, umbi adalah makanan para leluhur kita. Tepung gandum dan beras putih mungkin datang dibawa penjajah dari Eropa dan Jepang. Beberapa waktu lalu di angkot, saya duduk di depan seorang ibu-ibu yang menjalani masa remaja di saat pemerintahan Bung Karno. Beliau bilang, dulu orang makan beras nggak putih seperti sekarang. Ah, saya lupa, ibu itu menyebutkan nama beras yang dulu dibagikan di masa itu. Berasnya kotak dan berwarna gelap. Makanan leluhur kita ternyata memang jauh lebih sehat, semua serba organik. Nggak heran juga kalo anaknya banyak dan umurnya panjang.
Ini berarti orang-orang pintar sedang menghimbau kita untuk kembali ke masa lalu. Sadarkah apa yang mengubah pola makan orang-orang masa lalu? Budaya baru, budaya penjajah, modernisasi. Dulu orang-orang suka makan umbi, sayur, beras yang nggak putih. Tapi tiba-tiba jadi nggak keren kalo nggak makan roti. Jadi orang udik kalo ke sekolah nggak bawa bekal sandwich. Jadi nggak gaul kalo statusnya nggak “check in” di resto-resto fast food. Masyarakat kita adalah masyarakat yang selalu ingin dianggap gaul dan keren sehingga melupakan budayanya sendiri yang mungkin lebih baik. Saya munafik. Ya, memang. Karena nyatanya saya juga suka ke resto fast food untuk makan es krimnya, dan nggak menolak makan kalo ditraktir..hehe..
Sama juga dengan yang terjadi di malam itu. Cultural night, itulah yang tertulis di jadwal, dan seorang panitia mendekati kami supaya kami bersedia datang ke acara tersebut. Malam budaya. Itu arti cultural night dalam bahasa Indonesia kan? Maka, kami berpikir kalau ini adalah acara pentas seni untuk menjamu para tamu internasional. Dimana nantinya mungkin ada mahasiswa mahasiswi memamerkan budaya Indonesia seperti tari-tarian, gamelan, atau teater. So, malam itu kami berpakaian sekenanya, karena berpikir bisa duduk di baris belakang jauh di belakang para petinggi kampus. Saya pakai kaos, jaket dan celana jeans. Sedangkan teman saya pake rok kuliah dan sandal jepit. Saat akan memasuki gedung acara, kami didului Xenia hitam, mobil berhenti di depan kami, seorang wanita yang sepertinya baru dandan di salon turun dari mobil. Berdandan seperti hendak ke resepsi nikahan anak mentri. Saya langsung berhenti di depan tangga gedung, saling pandang dengan teman saya.
“Bener ini acaranya?”, tanya saya. Teman saya tidak jauh beda, juga mulai cemas.
Dan benar saja, kami pun sampai di depan ruangan yang di dalamnya penuh orang-orang berdandan necis, perlente, bapak-bapak pake batik, ibu-ibu pake gaun.
“Ngisi buku tamu dulu, mbak..”, kata penerima tamu yang dandanannya tidak kalah perlente.
Kami hanya nyengir, dan buru-buru keluar. Kebetulan teman saya juga mengajak dua teman kosnya dengan dandanan tidak jauh lebih baik. Setelah beberapa waktu ngakak dalam kecemasan, kami memutuskan untuk pulang dan ganti pakaian. Sebenernya bisa saja kami pulang dan tidak kembali. Tapi karena penasaran acara apa sebenarnya di dalam sana, maka kami kembali. Kami agak pede masuk ruangan, walaupun saya masih pake sneaker. Duduk menenangkan diri di salah satu meja yang disediakan, melempar pandangan ke seluruh ruangan dan mulai bertanya, “Mana penarinya?”
Para tamu dari luar negeri itu duduk di tengah ruangan ditemani petinggi kampus, mengenakan atasan batik. Beberapa penyanyi dan band di depan ruangan menyanyikan lagu-lagu barat oldies – ya, kebetulan para pembicara itu sudah usia 50+.
Ooo.. jadi ini yang namanya cultural night? Tapi culture siapa? Seperti saya bilang tadi, bahwa masyarakat kita selalu ingin dianggap keren, modern. Menjamu tamu dengan gaya Eropa – biar dibilang bergaya internasional. Baru tadi pagi ngomongin kembali ke pangan lokal, malemnya acara budaya gak jelas. Jadi bingung..

  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

39

Kalau kata film Tusuk Jelangkung, hari lahir dan weton orang itu akan terulang tiap 39 tahun. Jadi misalnya lahir tanggal 9 Maret 1993, Sela...